Akhirnya mulai ngetik blog lagi.
Kali ini, bukan untuk cerita jalan-jalan atau makan. Cuma pengen ngeluarin uneg-uneg, yang mungkin udah saya rasain bertahun-tahun. Jadi kalo males baca curhatan ga jelas saya, silakan diskip aja.
Entah kenapa, rasanya kehidupan pribadi saya terlalu banyak disorot sama orang-orang di sekitar saya. Bukan keluarga di rumah, mereka mah cuek-cuek aja ngga banyak tanya. Justru yang kepo adalah temen-temen. Oke lah, saya juga sering kepo sama kehidupan pribadi orang lain, tapi kayaknya saya ngga pernah sejauh itu 'membangun opini' atas kehidupan pribadi mereka.
Sejak bertahun-tahun yang lalu, kehidupan pribadi saya rasanya jadi konsumsi publik. Saya ngga masalah kalo mereka ngomongin saya, baik di depan atau belakang saya. Bodo amat. Yang saya ngga suka adalah ketika mereka seolah-olah tau 'semuanya', bahkan ketika 'semuanya' itu bukan yang sebenarnya saya alami. Kadang saya berusaha ngga mikirin itu, tapi kalo hampir semua temen membahas hal yang sama ketika ngobrol dengan saya, siapa yang ngga kesel sih? Saya selalu konfirmasi, ceritain yang sebenarnya, tapi kalian menganggap saya bercanda dan menutupi kenyataan (ini hidup siapa? siapa yang tau mana yang kenyataan?). Bahkan beberapa dari mereka seakan menjudge "Kenapa sih lu ngga begini aja? Kok lu begini? Kok lu begitu?" Heeey I have control for my own life, just mind your own problems!
Kadang orang emang ngga ngerti, atau ngga peduli, atau mungkin mereka malah terlalu peduli sampe sibuk ngurusin hidup orang lain. Entahlah.
Rasanya pengen pindah ke antah berantah aja.
Stuck in the Corner
just my silly thoughts and things happened around
Tuesday, February 2, 2016
Friday, November 27, 2015
Hello
Hello, how are you?
Emang sih sekarang lagi booming banget lagunya Adele ini, tapi saya ngucapin hello tulus kok, ke blog yang udah ditinggal berbulan-bulan. Ehehe.
Jadi, saya udah di Indonesia lagi sekarang. Niat untuk rajin ngeblog di Jepang ternyata ngga terwujud karena waktu saya di sana kebanyakan habis buat masak, mikirin masak apa selanjutnya, dan jalan-jalan atau nyepeda ngga tentu arah. Hehe. Dan karena udah lewat setahun juga dari event CCDC di Chiba, jadi nanti saya nulisnya random aja ga berurutan..
Many things happened last several months. But I know not everything can be shared. Ntar saya pilih-pilih topik dulu deh, sambil selingan di tengah tesis yang ngga kelar-kelar (tepatnya, belum mulai-mulai).
Okay, see you in the next post!
Emang sih sekarang lagi booming banget lagunya Adele ini, tapi saya ngucapin hello tulus kok, ke blog yang udah ditinggal berbulan-bulan. Ehehe.
Jadi, saya udah di Indonesia lagi sekarang. Niat untuk rajin ngeblog di Jepang ternyata ngga terwujud karena waktu saya di sana kebanyakan habis buat masak, mikirin masak apa selanjutnya, dan jalan-jalan atau nyepeda ngga tentu arah. Hehe. Dan karena udah lewat setahun juga dari event CCDC di Chiba, jadi nanti saya nulisnya random aja ga berurutan..
Many things happened last several months. But I know not everything can be shared. Ntar saya pilih-pilih topik dulu deh, sambil selingan di tengah tesis yang ngga kelar-kelar (tepatnya, belum mulai-mulai).
Okay, see you in the next post!
Saturday, July 4, 2015
Wakayama Field Trip
Field trip to Wakayama on June 27-28, 2015 was a truly
great experience, especially for me as international short-term exchange
student. Not only experienced the process of ume harvesting, we also learned
about how the ume farm of
Fuyuki family is running through generations and still become one of the
best in Japan.
We started learning about ume from the presentation and video by Nakamura sensei and Ochiai sensei. There we had basic understandings about ume farm. Most area of Tanabe City occupied as ume farm, therefore it becomes main income for local community. Ume from farm not only sold as fresh fruits, but also processed into other products such as umeboshi (pickled ume), umeshu (liquor), ume juice, and ume jam. As addition, ume processing is the main local secondary industry there.
One interesting point about the ume farm in Wakayama (especially Tanabe City) is that it only holds 31% of total ume farming area in Japan, yet it provides 61% of the total production. Therefore, some factors are very important in achieving the high productivity of ume farm in Tanabe City. Soil and climate condition of Wakayama is perfect for the ume growth, as the ume adapted very well and reach its optimum condition. Grafting method applied to new plants to produce ume trees with the best quality. Perfect management for ume is practiced throughout the year, from preparing the soil before spring season until the post-harvesting processes. Organic methods are practiced in the farm, and it is the best way to keep the best natural condition for ume. The fertilizer being used are produced by themselves using these materials : fish powder, leftover beans, rice bran, sugar and bacteria. Organic fertilizer not only good for ume trees but also environment-friendly. Organic way also applied by using beetle to produce germ-killer, and vinegar solution for pest spraying. To keep optimum yield, trees are maintained until age of 30-40 years before replaced with new plants through rejuvenation.
When arriving at the farm, I was surprised with many things. First, the vast area on the mountain which seemed like carpet of ume trees covering the surface (I was wondering how pretty the scenery on springs). Also, the using of blue net overlaid on the ground, such a simple yet effective way to collect the falling ume. The harvesting process itself was really fun, where we picked fruits as many as we can, surrounded with the nice fruity scent of ripe ume, walked through steep slopes while bowing low as possible to avoid the low branches of ume trees, carrying basket full of harvested fruits. It was hard work for sure, but we really enjoyed being a worker for half day, and can’t stop thinking about how hard the real farm workers should work all the time. All the back-pain and sweat are paid when we saw the full containers of ume with the pretty gradation of green, yellow and slightly red color. But the experience did not end yet. We also had the chance to see the processing of harvested ume, from the fruit separation to the salt soaking. It is also very important that all harvested fruits can be sold to the market in different products, so there is almost no waste. We talked with the Fuyuki family about the management of the farm (which has last for 17 generations! Amazing!). I can’t stop comparing the ume farm with farms in my country, Indonesia, and sure, without a doubt, that there are many things that Indonesian farmers can learn from Japanese farmers, especially Fuyuki family.
At last, I want to express my deep gratitude for this chance. Thank to Ochiai sensei, Nakamura sensei, Masuda sensei, and especially to Fuyuki family for the great experience. I hope the ume farm can last sustainable and give great income for the farmers. Tanoshikatta desu!
*males ngetik jadi copas dari report aja
**sebenernya ada part pendahuluannya tentang maen ke desa nelayan, pasar ikan sama aquarium
***tapi ntar aja dipost belakangan, hehe
Ramadhan!
Long time no
blogging, heheu. Tahun ini adalah Ramadhan pertama saya jauh dari rumah, bahkan
jauh dari tanah air. Berasa banget enaknya hidup di Indonesia kalau lagi puasa
begini. Waktu puasa yang hampir selalu stabil sepanjang tahun (kurang lebih
13-14 jam aja), ta’jil yang jenisnya ngga terhitung dan semuanya enak dan
semuanya bisa dibeli di mana aja (kolak, es timun suri, es blewah, cendol,
martabak, kurma, sampe gorengan dan sirop marjan, uhuu) dan kesempatan untuk
berbuka bersama keluarga.
Di Kyoto tahun ini
Ramadhan jatuh pada awal summer, pertengahan Juni sampai pertengahan Juli 2015.
Karena masih awal summer, cuacanya masih bersahabat. Bahkan awal puasa ini
masih musim hujan. Alhamdulillah, jadi belum begitu terasa haus atau capek.
Yang paling berat adalah bangun sahurnya, haha. Subuh disini jam 3 pagi, dan
matahari baru pamit selepas jam 7 malam. Isya baru mampir jam 9 malam, jadi
bisa diperkirakan tarawih selesai jam berapa. Godaan terberat di siang hari pun
bisa jadi bukan makanan atau minuman, melainkan mbak-mbak cantik berpakaian
minim. Maklum summer. Untung saya cewek. Huft.
Tapi di balik
kesulitan selalu ada kemudahan. Alhamdulillah banget di asrama saya, anak
Indonesianya ada beberapa orang. Biasanya kami buka dan sahur bareng, jadi ngga
perlu galau-galauan harus bangun malam dan makan sendirian. Apalagi hampir
seminggu sekali ada acara iftar party keluarga muslim Indonesia, yang makanan
Indonya berlimpah sampe bisa dibekel pulang. Surganya para bujang dan lajang
seperti kami, uhuhuy. Kangen tanah air sedikit terobati. Mungkin ini bakal jadi
salah satu yang paling dikenang sepulang ke tanah air nanti.
Sekitar sebulan
sebelum Ramadhan mulai, teman-teman lab dan sensei saya sering bertanya tentang
Ramadhan. Kapan dimulai (dan kenapa mulainya beda-beda)? Apa yang boleh dan
ngga boleh dilakukan? Kamu ngga makan sama sekali? Bahkan minum air? Berapa
lama? Ngga bakal pingsan? Aktivitas berjalan seperti biasa? Bagaimana kalau
sedang sakit dan harus minum obat? Bagaimana dengan Ramadhan di Indonesia?
Bagaimana dengan Ramadhan di negara yang siangnya terus menerus? Dan sebagainya
dan sebagainya. Saya dengan ilmu yang cetek dan bahasa inggris yang seadanya
hanya bisa berusaha menjelaskan sesederhana mungkin, dengan logika yang mudah
dimengerti. Tetap saja, mereka berpikir shaum di bulan Ramadhan itu berat,
haha. Mudah-mudahan penjelasan saya ngga menyesatkan.
Ramadhan day 18, and
still going strong! Bismillah :D
Friday, May 8, 2015
Belajar di Jepang
Masih cerita tentang
Jepang. Kali ini saya bukan mau cerita tentang jalan-jalan, tapi agak serius dikit
deh, mau cerita tentang sistem belajarnya. Kampus tempat saya belajar sekarang,
Kyoto University (atau orang sini nyebutnya Kyodai ~ kependekan dari Kyoto
Daigaku) adalah salah satu universitas top di Jepang, jadi seru juga
membandingkan sistem belajarnya dengan kampus saya di tanah air, IPB, yang juga
salah satu kampus top di Indonesia *eaaa *iyain aja *suka-suka yang punya blog.
Di sini saya sebagai exchange student selama 6 bulan sambil research untuk
bahan tesis. Dari program exchange ini, saya ditempatkan di lab sesuai topik
riset yang dulu saya ajukan pas ngelamar program. Lab saya adalah Atmospheric
Chemistry, karena topik tesis saya adalah tanaman dan polutan udara. Sebenernya
agak gentar ambil lab ini karena dari jaman sekolah dulu saya lemah banget pelajaran
kimia. Tapi anggap aja memanfaatkan kesempatan yang ada. Kapan lagi belajar di
Jepang dengan bidang yang pas banget sama riset? Jadi saya pede-pedein aja deh.
Bismillah.
Selain nge-lab, sebagai
syarat kelulusan program ada 4 kelas wajib yang harus diambil (7 kredit) dan
kita diperbolehkan mengambil kelas tambahan sebanyak-banyaknya (baca :
semampunya). Saya sendiri ambil 2 kelas tambahan supaya lebih banyak waktu untuk
nongkrong di lab alias liatin cowo-cowo sini yang gayanya pada ajaib. Iya,
temen lab saya cowo semua, saya paling cantik sendiri *kibas jidat *jidat temen
lab.
Nah, setelah
mengalami sebulan belajar di sini, ada beberapa hal yang saya catat tentang
perbedaan sistem belajar antara Jepang sama Indonesia.
·
Di
Jepang, profesionalisme dinilai dari seberapa jauh kita mendalami bidang kita
masing-masing. Makanya kebanyakan mahasiswa di Jepang hanya fokus pada satu
permasalahan yang spesifik banget dan studinya dari S1, S2 sampe profesor
mungkin berkutat di bidang itu-itu lagi. Beda sama di Indonesia, di mana orang
yang multitalented mungkin dianggap lebih hebat. Mungkin loh ya. Hal ini pun
diterapkan di kehidupan nyata. Kebetulan beberapa hari yang lalu saya ketemu
Pak Rusto yang punya pabrik tempe di Shiga (ngga tau Pak Rusto? Silakan gugling.
Beliau udah melegenda di kalangan orang Indonesia yang tinggal di Jepang). Waktu
itu saya sempat nanya sama Pak Rusto, ‘Ngga berniat ekspansi ke produk lain
Pak, tahu atau oncom gitu?’. Beliau jawab, ‘Orang Jepang lebih menghargai kalau
kita fokus pada satu produk, karena kualitasnya pasti terjaga dibanding membuat
dua produk tapi kualitasnya jadi kurang baik. Susah ngurus izin produk baru,’.
Jadi kesimpulan yang saya tangkap, kualitas jauh lebih penting daripada
kuantitas. 10000 hours experience. Tapi dari sisi materi pelajaran, saya pikir
Indonesia agak lebih tinggi karena pada jenjang S1 kita belajar semua dasarnya,
jadi pengetahuan kita agak lebih luas. Well, relatif sih. Opini pribadi, hehe.
·
Kelas di
Jepang ngga terlalu formal. Semua orang bisa datang sesukanya, bahkan 5 menit
sebelum jam pelajaran berakhir pun oke. Nah kalo dari segi ini Indonesia lebih
unggul karena lebih menerapkan kedisiplinan. Di kelas aja sih emang, di luar
kelas ya ngga tau. Persamaan kelas di Indonesia sama Jepang? Mahasiswanya
sama-sama suka tidur di kelas, hahaha. Bahkan dosen pun ngga menegur mahasiswa
yang tidur, selama tidak mengganggu.
·
Jarang
banget dosen Jepang ngasih tugas rumah. Mungkin dari 14 pertemuan, cuma ada 2
tugas dan 1 presentasi akhir. Nilainya dari mana dong? Dari kehadiran sama
tugas-tugas tadi. Kebanyakan dosen memberi kuis di akhir kuliah, sekaligus
berlaku sebagai presensi perkuliahan. Jadi ngga bisa nitip absen. Bandingkan
sama di Indonesia yang tugasnya bertumpuk-tumpuk sampai bikin begadang
bermalam-malam, bahkan menjelang ujian pun bukannya belajar malah ngerjain
laporan.
·
Mata
kuliah pascasarjana di sini jarang banget yang ngasih ujian akhir. Paling banter
presentasi aja. Jadi ngga perlu ngapalin pake Sistem Kebut Semalam atau
begadang ngerjain take home exam yang bikin ngga napsu makan, ngga nyenyak
tidur dan ngga tenang bo*er itu. Presentasi kan ribet juga? Eits, di sini
presentasinya dibatasi hanya beberapa slide (biasanya max 10 slide) atau
dibatasi sekian menit (ngga lebih dari 10 menit ~ bahkan ada tugas yg cuma 4
slide, 2 menit!). Kalo waktunya abis ya udah, selesai. Jadi ngga ada presentasi
ngalor ngidul panjang lebar. To the point, singkat jelas padat. That strict. Makanya
orang Jepang sangat sangat sangat menghargai ketepatan waktu, karena selalu
dilatih untuk mengikuti jadwal yang super padat.
·
Di Indonesia,
jam-jam kosong di sela waktu perkuliahan diisi dengan ngobrol di kantin sambil
ngemil, ngerjain tugas di perpus (kalau rajin) atau tiduran di mana pun bisa
tidur. Di Jepang, setiap mahasiswa punya lab, dan setiap lab menyediakan meja
kerja untuk masing-masing mahasiswa. Nah kita bisa mengerjakan tugas di lab,
sambil diskusi dengan teman satu lab. Saya jadi membayangkan ruang-ruang kosong
di kampus saya diubah jadi lab aja, supaya ngga harus nongkrong di perpus
rebutan meja sama colokan tiap hari.
·
Lab saya
di Jepang mengadakan zemi alias seminar kecil setiap minggu. Jadwal zemi ini
beda-beda tergantung lab dan kesibukan senseinya. Di lab saya, zemi berlangsung
1,5 jam dengan 2 presentator. 1 sesi untuk studi literatur dan 1 sesi untuk
recent research. Semua orang pasti bakal kebagian presentasi. Selesai presentasi,
lanjut diskusi. Di sini mahasiswa berlatih untuk bisa cepat menangkap apa yang
disampaikan temannya dan ‘dipaksa’ untuk kritis, rajin bertanya dan ngga takut
diskusi. Sistem zemi ini sebenarnya sudah diterapkan oleh beberapa dosen di
kampus saya di Indonesia (rata-rata dosen yang lulusan Jepang, bedanya yang
dipresentasikan adalah progress penelitian), jadi ngga terlalu beda jauh lah
ya.
Dari poin-poin di atas
bisa diambil kesimpulan bahwa kuliah di Jepang lebih efektif dan ngga seribet
kuliah di Indonesia. Sekali lagi, ini masih opini pribadi. Mungkin kalo udah
selesai jatah 6 bulan disini opini tersebut bisa berubah, hehe.
Baiklah, sepertinya
sekian dulu. Nanti diupdate postingannya kalau dapet poin baru.
salam hangat dari Clock Tower dan Camphora |
Subscribe to:
Posts (Atom)