Friday, May 8, 2015

Belajar di Jepang

Masih cerita tentang Jepang. Kali ini saya bukan mau cerita tentang jalan-jalan, tapi agak serius dikit deh, mau cerita tentang sistem belajarnya. Kampus tempat saya belajar sekarang, Kyoto University (atau orang sini nyebutnya Kyodai ~ kependekan dari Kyoto Daigaku) adalah salah satu universitas top di Jepang, jadi seru juga membandingkan sistem belajarnya dengan kampus saya di tanah air, IPB, yang juga salah satu kampus top di Indonesia *eaaa *iyain aja *suka-suka yang punya blog. Di sini saya sebagai exchange student selama 6 bulan sambil research untuk bahan tesis. Dari program exchange ini, saya ditempatkan di lab sesuai topik riset yang dulu saya ajukan pas ngelamar program. Lab saya adalah Atmospheric Chemistry, karena topik tesis saya adalah tanaman dan polutan udara. Sebenernya agak gentar ambil lab ini karena dari jaman sekolah dulu saya lemah banget pelajaran kimia. Tapi anggap aja memanfaatkan kesempatan yang ada. Kapan lagi belajar di Jepang dengan bidang yang pas banget sama riset? Jadi saya pede-pedein aja deh. Bismillah.

Selain nge-lab, sebagai syarat kelulusan program ada 4 kelas wajib yang harus diambil (7 kredit) dan kita diperbolehkan mengambil kelas tambahan sebanyak-banyaknya (baca : semampunya). Saya sendiri ambil 2 kelas tambahan supaya lebih banyak waktu untuk nongkrong di lab alias liatin cowo-cowo sini yang gayanya pada ajaib. Iya, temen lab saya cowo semua, saya paling cantik sendiri *kibas jidat *jidat temen lab.

Nah, setelah mengalami sebulan belajar di sini, ada beberapa hal yang saya catat tentang perbedaan sistem belajar antara Jepang sama Indonesia.
·         Di Jepang, profesionalisme dinilai dari seberapa jauh kita mendalami bidang kita masing-masing. Makanya kebanyakan mahasiswa di Jepang hanya fokus pada satu permasalahan yang spesifik banget dan studinya dari S1, S2 sampe profesor mungkin berkutat di bidang itu-itu lagi. Beda sama di Indonesia, di mana orang yang multitalented mungkin dianggap lebih hebat. Mungkin loh ya. Hal ini pun diterapkan di kehidupan nyata. Kebetulan beberapa hari yang lalu saya ketemu Pak Rusto yang punya pabrik tempe di Shiga (ngga tau Pak Rusto? Silakan gugling. Beliau udah melegenda di kalangan orang Indonesia yang tinggal di Jepang). Waktu itu saya sempat nanya sama Pak Rusto, ‘Ngga berniat ekspansi ke produk lain Pak, tahu atau oncom gitu?’. Beliau jawab, ‘Orang Jepang lebih menghargai kalau kita fokus pada satu produk, karena kualitasnya pasti terjaga dibanding membuat dua produk tapi kualitasnya jadi kurang baik. Susah ngurus izin produk baru,’. Jadi kesimpulan yang saya tangkap, kualitas jauh lebih penting daripada kuantitas. 10000 hours experience. Tapi dari sisi materi pelajaran, saya pikir Indonesia agak lebih tinggi karena pada jenjang S1 kita belajar semua dasarnya, jadi pengetahuan kita agak lebih luas. Well, relatif sih. Opini pribadi, hehe.

·         Kelas di Jepang ngga terlalu formal. Semua orang bisa datang sesukanya, bahkan 5 menit sebelum jam pelajaran berakhir pun oke. Nah kalo dari segi ini Indonesia lebih unggul karena lebih menerapkan kedisiplinan. Di kelas aja sih emang, di luar kelas ya ngga tau. Persamaan kelas di Indonesia sama Jepang? Mahasiswanya sama-sama suka tidur di kelas, hahaha. Bahkan dosen pun ngga menegur mahasiswa yang tidur, selama tidak mengganggu.

·         Jarang banget dosen Jepang ngasih tugas rumah. Mungkin dari 14 pertemuan, cuma ada 2 tugas dan 1 presentasi akhir. Nilainya dari mana dong? Dari kehadiran sama tugas-tugas tadi. Kebanyakan dosen memberi kuis di akhir kuliah, sekaligus berlaku sebagai presensi perkuliahan. Jadi ngga bisa nitip absen. Bandingkan sama di Indonesia yang tugasnya bertumpuk-tumpuk sampai bikin begadang bermalam-malam, bahkan menjelang ujian pun bukannya belajar malah ngerjain laporan.

·         Mata kuliah pascasarjana di sini jarang banget yang ngasih ujian akhir. Paling banter presentasi aja. Jadi ngga perlu ngapalin pake Sistem Kebut Semalam atau begadang ngerjain take home exam yang bikin ngga napsu makan, ngga nyenyak tidur dan ngga tenang bo*er itu. Presentasi kan ribet juga? Eits, di sini presentasinya dibatasi hanya beberapa slide (biasanya max 10 slide) atau dibatasi sekian menit (ngga lebih dari 10 menit ~ bahkan ada tugas yg cuma 4 slide, 2 menit!). Kalo waktunya abis ya udah, selesai. Jadi ngga ada presentasi ngalor ngidul panjang lebar. To the point, singkat jelas padat. That strict. Makanya orang Jepang sangat sangat sangat menghargai ketepatan waktu, karena selalu dilatih untuk mengikuti jadwal yang super padat.

·         Di Indonesia, jam-jam kosong di sela waktu perkuliahan diisi dengan ngobrol di kantin sambil ngemil, ngerjain tugas di perpus (kalau rajin) atau tiduran di mana pun bisa tidur. Di Jepang, setiap mahasiswa punya lab, dan setiap lab menyediakan meja kerja untuk masing-masing mahasiswa. Nah kita bisa mengerjakan tugas di lab, sambil diskusi dengan teman satu lab. Saya jadi membayangkan ruang-ruang kosong di kampus saya diubah jadi lab aja, supaya ngga harus nongkrong di perpus rebutan meja sama colokan tiap hari.

·         Lab saya di Jepang mengadakan zemi alias seminar kecil setiap minggu. Jadwal zemi ini beda-beda tergantung lab dan kesibukan senseinya. Di lab saya, zemi berlangsung 1,5 jam dengan 2 presentator. 1 sesi untuk studi literatur dan 1 sesi untuk recent research. Semua orang pasti bakal kebagian presentasi. Selesai presentasi, lanjut diskusi. Di sini mahasiswa berlatih untuk bisa cepat menangkap apa yang disampaikan temannya dan ‘dipaksa’ untuk kritis, rajin bertanya dan ngga takut diskusi. Sistem zemi ini sebenarnya sudah diterapkan oleh beberapa dosen di kampus saya di Indonesia (rata-rata dosen yang lulusan Jepang, bedanya yang dipresentasikan adalah progress penelitian), jadi ngga terlalu beda jauh lah ya.

Dari poin-poin di atas bisa diambil kesimpulan bahwa kuliah di Jepang lebih efektif dan ngga seribet kuliah di Indonesia. Sekali lagi, ini masih opini pribadi. Mungkin kalo udah selesai jatah 6 bulan disini opini tersebut bisa berubah, hehe.


Baiklah, sepertinya sekian dulu. Nanti diupdate postingannya kalau dapet poin baru.

Cheers! Thanks for reading :D

salam hangat dari Clock Tower dan Camphora

Wednesday, May 6, 2015

Hutang (ngok)

Iya, hutang saya banyak...

Hutang postingan blog, hahahah. Sekarang sudah lebih dari sebulan saya di Jepang lagi, tapi postingan summer course di Jepang tahun lalu malah belum tamat. Eyyyyy ><

Satu-satu ya sodara sodari. Menciptakan atmosfer ngeblog dulu. Kalo mau postingan yang paling apdet bisa cek ig kita kakaak. Ngga tau? Ngga follow? Hih, anda bukan teman saya! Ehehehe.

Sekian. Cups muah.

Japan Summer Trip #7 : Studio Work

Senin, 25 Agustus 2014, program summer course berlanjut dengan agenda inti, yaitu studio project. Di awal hari, kami berkumpul di studio di Gedung A, dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu planning and design dan design and build. Grup planning and design (PD) dibagi lagi menjadi 3 grup kecil (6-7 orang) yang menangani proyek revitalisasi Matsudo Park, salah satu taman publik di Matsudo City, sementara grup design and build (DB) dibagi menjadi 4 grup kecil dengan proyek mendesain dan merakit yatai (kalo di Indonesia mah semacam gerobak) untuk dipajang pada saat matsuri di Matsudo Park, di hari terakhir program. Saya masuk grup terakhir di kelompok planning and design. Setelah duduk dengan grup masing-masing, kami diminta membuat menara setinggi dan sekokoh mungkin dari koran bekas dalam jangka waktu yang ditentukan. Semacam ice break gitu lah. Dilanjutkan diskusi mengenai target proyek yang harus tercapai pada akhir masing-masing hari sampai hari terakhir program. Lalu kami jalan ke site project. Site project kami, Matsudo Park adalah sebuah taman publik yang cukup luas di dekat stasiun Matsudo. Akses dari stasiun Matsudo agak sulit karena harus mendaki 5 level anak tangga yang curam. Kurus deh. Ketika kami sampai di taman, tamannya sepi dan ngga ada spot yang benar-benar menarik di dalamnya. Lalu kami mulai berpencar untuk mengumpulkan data.
ini lagi dijelasin tentang Bon Odori Matsuri
Bai Lin san, 'menara eiffel' grup kami dan Dan
site Matsudo Park
main gate ke taman
anak-anak yang main bola di lapangan tanggung

Setelah makan siang, kami kembali ke studio untuk menuangkan kesan pertama kami tentang Matsudo Park, dalam bentuk haiku. Haiku adalah semacam sajak khas Jepang yang terdiri dari 3 baris, dengan aturan baris pertama berisi 5 suku kata, baris kedua 7 suku kata, dan baris ketiga 5 suku kata. Biasanya haiku ini juga berisi gambar atau ilustrasi tentang isi sajaknya. Kami disediakan shikishi (semacam karton tebal berbentuk hampir persegi) dan marker untuk menyelesaikan haiku dalam waktu 1 jam. Sensei memotret masing-masing haiku yang sudah seleasi (bersama si penulisnya), lalu masing-masing orang diminta untuk membacakan haiku-nya.
biarin deh haiku amatir juga

Hari Selasa hingga Jumat, kami bekerja di studio sepanjang hari untuk menyelesaikan project sesuai target setiap hari. Kelompok DB pindah ke hall Gedung E yang lebih luas untuk mulai 'bertukang'. Grup saya terdiri dari saya, Yu dari China, Ida dari Swedia, Dan dari Amerika, Juan dan Bai Lin dan Chibadai. Juan aslinya orang Chile dan Bai Lin dari China. Di grup saya ngga ada native Jepangnya sama sekali, haha. Pada beberapa hari terakhir, kami dibantu satu orang lagi mahasiswa Chibadai yang lebih senior, Sofia (orang Amerika juga). Beberapa hari kerja sama orang asing, kesimpulan saya : communication is everything. Hahaha. Saya ngalamin banget berada di tengah-tengah antara dua kubu (ini subjektif saya loh ya, haha). Western (Ida sama Dan) dan Eastern (Yu sama Bai Lin). Juan sama Sofia netral, non blok. Kubu Western cenderung blak-blakan beropini dan ngga terlalu dengerin omongan orang lain, sementara Eastern teguh pendiriannya walaupun disampaikan dengan cara halus. Untungnya satu grup harus ngerjain 2 spot di masing-masing site, sehingga kami dibagi jadi 2 subgrup lagi. Saya gabung sama kubu Western ngerjain taman yang gede, sementara Juan gabung Eastern di 2 site taman yang lebih kecil. Sofia akhirnya bantuin grup Eastern. Setelah dibagi subgrup, rasanya kelompok kami jadi lebih damai, hahaha. Ternyata saya menikmati diskusi seru sama Dan, si Amrik gemuk yang ketawanya renyah banget itu. Dan adalah mahasiswa Washington State University sekaligus jurnalis asal Seattle yang udah main ke banyak negara untuk ngeliput lanskapnya (terutama urban area) dan pastinya pengetahuannya luas banget. Melalui diskusi beberapa hari sama teman-teman baru saya (terutama Dan), pikiran saya tentang lanskap dan urban public park jadi makin terbuka. Mungkin elemen paling penting dari sebuah public park adalah budaya dan kebutuhan masyarakatnya sendiri. Well, the best part of joining multicultural event is making new friends from different places, backgrounds and mindset, and it really worth your time and effort.
presentasi rutin di akhir hari (bukan kelompok saya)

Baiklah, singkat cerita kami berhasil menyelesaikan 6 lembar poster ukuran A2 dan 2 maket untuk masing-masing grup, jadi untuk tiap tapak ada 3 poster dan 1 maket. Hari Jumat sore, kami mempresentasikan hasil kerja di depan audiens, termasuk beberapa perwakilan pemerintah lokal. Waktu yang disediakan untuk presentasi bener-bener terbatas, kalau penjelasan kami belum selesai ketika jatah waktu habis ya penjelasannya harus dihentikan. Waktu untuk diskusi pun terbatas. Setelah presentasi semua grup selesai, kami ngemil-ngemil sambil pembagian sertifikat. Iya, pembagian sertifikatnya bahkan ngga pake acara seremonial khusus. Nonformal banget.  
tadaaa. hasil kerja 5 hari doang ini, haha
acara penyerahan sertifikat




Besoknya, Sabtu siang, saya kembali ke studio. Kami masih harus menampilkan poster-poster hasil kerja kami di Matsudo Park agar bisa dilihat oleh masyarakat. Momennya sengaja dipilih hari itu karena sorenya ada Bon Odori di tempat yang sama. Sesampainya di studio, ternyata sepi. Jadi saya keliling area dekat-dekat situ untuk mengabadikan spot-spot cantiknya. Belum tentu saya bisa kesitu lagi. Hiks. Puas hunting foto, saya ke hall Gedung E. Di sana juga ngga banyak orang. Saya samperin satu-satu sambil kasih suvenir dari Indonesia yang udah saya siapin sebelumnya. Saat ngobrol sama salah satu sensei, beliau bertanya tentang jilbab saya. Ehehehe mungkin sensei udah lama penasaran tapi kami baru punya waktu untuk ngobrol santai.
bye studio Gedung A...
bye taman Gedung A...
bye koridor...
bye kuma...
Yatai-yatai hasil kerja kelompok DB dibawa ke Matsudo Park dengan mobil pick up, dan kami jalan kaki ke sana. Beberapa orang mampir ke toko yukata untuk ganti kostum. Tadinya saya pengen juga, tapi ternyata yukata lumayan mahal dan bakal makan banyak tempat di koper. Ya sudahlah, Insya Allah kapan-kapan aja nyobainnya. Matsuri mulai sekitar jam 4 sore dengan penampilan beberapa grup lokal, baik berupa band, tari atau semacam orkestra gitu. Sambil menikmati pertunjukan, ada beberapa jajanan yang disajikan. Tapi yang bisa dimakan ngga banyak. Saya jajan jagung bakar sama kakigori, es serut yang dikucuri sirup buah. Lumayan daripada lumanyun. Ami dan Edu juga saya minta untuk datang ke matsuri. Jadi ada yang bisa minta tolong fotoin, ihihi.
siap angkut!
siap untuk matsuri
mejeng depan poster grup 
ini yang namanya kakigori. syegerr
Ami dan Sendy (loh)
chiizu!!
 Puncak acara Bon Odori adalah ketika ibu-ibu (atau nenek-nenek?) menempatkan diri di semacam panggung kecil di tengah arena, mengelilingi bedug (apa sih namanya?) di tengah panggung. Lalu mereka mulai menari mengikuti irama musik, dan orang-orang juga ikut menari membentuk lingkaran besar di sekeliling panggung. Seruu. Semua orang ikut berpartisipasi, terutama saya dan teman-teman program. Kami sampai disorot televisi lokal, hahaha. Fun moment!