Friday, November 27, 2015

Hello

Hello, how are you?

Emang sih sekarang lagi booming banget lagunya Adele ini, tapi saya ngucapin hello tulus kok, ke blog yang udah ditinggal berbulan-bulan. Ehehe.

Jadi, saya udah di Indonesia lagi sekarang. Niat untuk rajin ngeblog di Jepang ternyata ngga terwujud karena waktu saya di sana kebanyakan habis buat masak, mikirin masak apa selanjutnya, dan jalan-jalan atau nyepeda ngga tentu arah. Hehe. Dan karena udah lewat setahun juga dari event CCDC di Chiba, jadi nanti saya nulisnya random aja ga berurutan..

Many things happened last several months. But I know not everything can be shared. Ntar saya pilih-pilih topik dulu deh, sambil selingan di tengah tesis yang ngga kelar-kelar (tepatnya, belum mulai-mulai).

Okay, see you in the next post!

Saturday, July 4, 2015

Wakayama Field Trip


Field trip to Wakayama on June 27-28, 2015 was a truly great experience, especially for me as international short-term exchange student. Not only experienced the process of ume harvesting, we also learned about how the ume farm of Fuyuki family is running through generations and still become one of the best in Japan.


We started learning about ume from the presentation and video by Nakamura sensei and Ochiai sensei. There we had basic understandings about ume farm. Most area of Tanabe City occupied as ume farm, therefore it becomes main income for local community. Ume from farm not only sold as fresh fruits, but also processed into other products such as umeboshi (pickled ume), umeshu (liquor), ume juice, and ume jam. As addition, ume processing is the main local secondary industry there.


One interesting point about the ume farm in Wakayama (especially Tanabe City) is that it only holds 31% of total ume farming area in Japan, yet it provides 61% of the total production. Therefore, some factors are very important in achieving the high productivity of ume farm in Tanabe City. Soil and climate condition of Wakayama is perfect for the ume growth, as the ume adapted very well and reach its optimum condition. Grafting method applied to new plants to produce ume trees with the best quality. Perfect management for ume is practiced throughout the year, from preparing the soil before spring season until the post-harvesting processes. Organic methods are practiced in the farm, and it is the best way to keep the best natural condition for ume. The fertilizer being used are produced by themselves using these materials : fish powder, leftover beans, rice bran, sugar and bacteria. Organic fertilizer not only good for ume trees but also environment-friendly. Organic way also applied by using beetle to produce germ-killer, and vinegar solution for pest spraying. To keep optimum yield, trees are maintained until age of 30-40 years before replaced with new plants through rejuvenation.


When arriving at the farm, I was surprised with many things. First, the vast area on the mountain which seemed like carpet of ume trees covering the surface (I was wondering how pretty the scenery on springs). Also, the using of blue net overlaid on the ground, such a simple yet effective way to collect the falling ume. The harvesting process itself was really fun, where we picked fruits as many as we can, surrounded with the nice fruity scent of ripe ume, walked through steep slopes while bowing low as possible to avoid the low branches of ume trees, carrying basket full of harvested fruits. It was hard work for sure, but we really enjoyed being a worker for half day, and can’t stop thinking about how hard the real farm workers should work all the time. All the back-pain and sweat are paid when we saw the full containers of ume with the pretty gradation of green, yellow and slightly red color. But the experience did not end yet. We also had the chance to see the processing of harvested ume, from the fruit separation to the salt soaking. It is also very important that all harvested fruits can be sold to the market in different products, so there is almost no waste. We talked with the Fuyuki family about the management of the farm (which has last for 17 generations! Amazing!). I can’t stop comparing the ume farm with farms in my country, Indonesia, and sure, without a doubt, that there are many things that Indonesian farmers can learn from Japanese farmers, especially Fuyuki family.





At last, I want to express my deep gratitude for this chance. Thank to Ochiai sensei, Nakamura sensei, Masuda sensei, and especially to Fuyuki family for the great experience. I hope the ume farm can last sustainable and give great income for the farmers. Tanoshikatta desu!


*males ngetik jadi copas dari report aja
**sebenernya ada part pendahuluannya tentang maen ke desa nelayan, pasar ikan sama aquarium
***tapi ntar aja dipost belakangan, hehe

Ramadhan!

Long time no blogging, heheu. Tahun ini adalah Ramadhan pertama saya jauh dari rumah, bahkan jauh dari tanah air. Berasa banget enaknya hidup di Indonesia kalau lagi puasa begini. Waktu puasa yang hampir selalu stabil sepanjang tahun (kurang lebih 13-14 jam aja), ta’jil yang jenisnya ngga terhitung dan semuanya enak dan semuanya bisa dibeli di mana aja (kolak, es timun suri, es blewah, cendol, martabak, kurma, sampe gorengan dan sirop marjan, uhuu) dan kesempatan untuk berbuka bersama keluarga.

Di Kyoto tahun ini Ramadhan jatuh pada awal summer, pertengahan Juni sampai pertengahan Juli 2015. Karena masih awal summer, cuacanya masih bersahabat. Bahkan awal puasa ini masih musim hujan. Alhamdulillah, jadi belum begitu terasa haus atau capek. Yang paling berat adalah bangun sahurnya, haha. Subuh disini jam 3 pagi, dan matahari baru pamit selepas jam 7 malam. Isya baru mampir jam 9 malam, jadi bisa diperkirakan tarawih selesai jam berapa. Godaan terberat di siang hari pun bisa jadi bukan makanan atau minuman, melainkan mbak-mbak cantik berpakaian minim. Maklum summer. Untung saya cewek. Huft.

Tapi di balik kesulitan selalu ada kemudahan. Alhamdulillah banget di asrama saya, anak Indonesianya ada beberapa orang. Biasanya kami buka dan sahur bareng, jadi ngga perlu galau-galauan harus bangun malam dan makan sendirian. Apalagi hampir seminggu sekali ada acara iftar party keluarga muslim Indonesia, yang makanan Indonya berlimpah sampe bisa dibekel pulang. Surganya para bujang dan lajang seperti kami, uhuhuy. Kangen tanah air sedikit terobati. Mungkin ini bakal jadi salah satu yang paling dikenang sepulang ke tanah air nanti.

Sekitar sebulan sebelum Ramadhan mulai, teman-teman lab dan sensei saya sering bertanya tentang Ramadhan. Kapan dimulai (dan kenapa mulainya beda-beda)? Apa yang boleh dan ngga boleh dilakukan? Kamu ngga makan sama sekali? Bahkan minum air? Berapa lama? Ngga bakal pingsan? Aktivitas berjalan seperti biasa? Bagaimana kalau sedang sakit dan harus minum obat? Bagaimana dengan Ramadhan di Indonesia? Bagaimana dengan Ramadhan di negara yang siangnya terus menerus? Dan sebagainya dan sebagainya. Saya dengan ilmu yang cetek dan bahasa inggris yang seadanya hanya bisa berusaha menjelaskan sesederhana mungkin, dengan logika yang mudah dimengerti. Tetap saja, mereka berpikir shaum di bulan Ramadhan itu berat, haha. Mudah-mudahan penjelasan saya ngga menyesatkan.


Ramadhan day 18, and still going strong! Bismillah :D

Friday, May 8, 2015

Belajar di Jepang

Masih cerita tentang Jepang. Kali ini saya bukan mau cerita tentang jalan-jalan, tapi agak serius dikit deh, mau cerita tentang sistem belajarnya. Kampus tempat saya belajar sekarang, Kyoto University (atau orang sini nyebutnya Kyodai ~ kependekan dari Kyoto Daigaku) adalah salah satu universitas top di Jepang, jadi seru juga membandingkan sistem belajarnya dengan kampus saya di tanah air, IPB, yang juga salah satu kampus top di Indonesia *eaaa *iyain aja *suka-suka yang punya blog. Di sini saya sebagai exchange student selama 6 bulan sambil research untuk bahan tesis. Dari program exchange ini, saya ditempatkan di lab sesuai topik riset yang dulu saya ajukan pas ngelamar program. Lab saya adalah Atmospheric Chemistry, karena topik tesis saya adalah tanaman dan polutan udara. Sebenernya agak gentar ambil lab ini karena dari jaman sekolah dulu saya lemah banget pelajaran kimia. Tapi anggap aja memanfaatkan kesempatan yang ada. Kapan lagi belajar di Jepang dengan bidang yang pas banget sama riset? Jadi saya pede-pedein aja deh. Bismillah.

Selain nge-lab, sebagai syarat kelulusan program ada 4 kelas wajib yang harus diambil (7 kredit) dan kita diperbolehkan mengambil kelas tambahan sebanyak-banyaknya (baca : semampunya). Saya sendiri ambil 2 kelas tambahan supaya lebih banyak waktu untuk nongkrong di lab alias liatin cowo-cowo sini yang gayanya pada ajaib. Iya, temen lab saya cowo semua, saya paling cantik sendiri *kibas jidat *jidat temen lab.

Nah, setelah mengalami sebulan belajar di sini, ada beberapa hal yang saya catat tentang perbedaan sistem belajar antara Jepang sama Indonesia.
·         Di Jepang, profesionalisme dinilai dari seberapa jauh kita mendalami bidang kita masing-masing. Makanya kebanyakan mahasiswa di Jepang hanya fokus pada satu permasalahan yang spesifik banget dan studinya dari S1, S2 sampe profesor mungkin berkutat di bidang itu-itu lagi. Beda sama di Indonesia, di mana orang yang multitalented mungkin dianggap lebih hebat. Mungkin loh ya. Hal ini pun diterapkan di kehidupan nyata. Kebetulan beberapa hari yang lalu saya ketemu Pak Rusto yang punya pabrik tempe di Shiga (ngga tau Pak Rusto? Silakan gugling. Beliau udah melegenda di kalangan orang Indonesia yang tinggal di Jepang). Waktu itu saya sempat nanya sama Pak Rusto, ‘Ngga berniat ekspansi ke produk lain Pak, tahu atau oncom gitu?’. Beliau jawab, ‘Orang Jepang lebih menghargai kalau kita fokus pada satu produk, karena kualitasnya pasti terjaga dibanding membuat dua produk tapi kualitasnya jadi kurang baik. Susah ngurus izin produk baru,’. Jadi kesimpulan yang saya tangkap, kualitas jauh lebih penting daripada kuantitas. 10000 hours experience. Tapi dari sisi materi pelajaran, saya pikir Indonesia agak lebih tinggi karena pada jenjang S1 kita belajar semua dasarnya, jadi pengetahuan kita agak lebih luas. Well, relatif sih. Opini pribadi, hehe.

·         Kelas di Jepang ngga terlalu formal. Semua orang bisa datang sesukanya, bahkan 5 menit sebelum jam pelajaran berakhir pun oke. Nah kalo dari segi ini Indonesia lebih unggul karena lebih menerapkan kedisiplinan. Di kelas aja sih emang, di luar kelas ya ngga tau. Persamaan kelas di Indonesia sama Jepang? Mahasiswanya sama-sama suka tidur di kelas, hahaha. Bahkan dosen pun ngga menegur mahasiswa yang tidur, selama tidak mengganggu.

·         Jarang banget dosen Jepang ngasih tugas rumah. Mungkin dari 14 pertemuan, cuma ada 2 tugas dan 1 presentasi akhir. Nilainya dari mana dong? Dari kehadiran sama tugas-tugas tadi. Kebanyakan dosen memberi kuis di akhir kuliah, sekaligus berlaku sebagai presensi perkuliahan. Jadi ngga bisa nitip absen. Bandingkan sama di Indonesia yang tugasnya bertumpuk-tumpuk sampai bikin begadang bermalam-malam, bahkan menjelang ujian pun bukannya belajar malah ngerjain laporan.

·         Mata kuliah pascasarjana di sini jarang banget yang ngasih ujian akhir. Paling banter presentasi aja. Jadi ngga perlu ngapalin pake Sistem Kebut Semalam atau begadang ngerjain take home exam yang bikin ngga napsu makan, ngga nyenyak tidur dan ngga tenang bo*er itu. Presentasi kan ribet juga? Eits, di sini presentasinya dibatasi hanya beberapa slide (biasanya max 10 slide) atau dibatasi sekian menit (ngga lebih dari 10 menit ~ bahkan ada tugas yg cuma 4 slide, 2 menit!). Kalo waktunya abis ya udah, selesai. Jadi ngga ada presentasi ngalor ngidul panjang lebar. To the point, singkat jelas padat. That strict. Makanya orang Jepang sangat sangat sangat menghargai ketepatan waktu, karena selalu dilatih untuk mengikuti jadwal yang super padat.

·         Di Indonesia, jam-jam kosong di sela waktu perkuliahan diisi dengan ngobrol di kantin sambil ngemil, ngerjain tugas di perpus (kalau rajin) atau tiduran di mana pun bisa tidur. Di Jepang, setiap mahasiswa punya lab, dan setiap lab menyediakan meja kerja untuk masing-masing mahasiswa. Nah kita bisa mengerjakan tugas di lab, sambil diskusi dengan teman satu lab. Saya jadi membayangkan ruang-ruang kosong di kampus saya diubah jadi lab aja, supaya ngga harus nongkrong di perpus rebutan meja sama colokan tiap hari.

·         Lab saya di Jepang mengadakan zemi alias seminar kecil setiap minggu. Jadwal zemi ini beda-beda tergantung lab dan kesibukan senseinya. Di lab saya, zemi berlangsung 1,5 jam dengan 2 presentator. 1 sesi untuk studi literatur dan 1 sesi untuk recent research. Semua orang pasti bakal kebagian presentasi. Selesai presentasi, lanjut diskusi. Di sini mahasiswa berlatih untuk bisa cepat menangkap apa yang disampaikan temannya dan ‘dipaksa’ untuk kritis, rajin bertanya dan ngga takut diskusi. Sistem zemi ini sebenarnya sudah diterapkan oleh beberapa dosen di kampus saya di Indonesia (rata-rata dosen yang lulusan Jepang, bedanya yang dipresentasikan adalah progress penelitian), jadi ngga terlalu beda jauh lah ya.

Dari poin-poin di atas bisa diambil kesimpulan bahwa kuliah di Jepang lebih efektif dan ngga seribet kuliah di Indonesia. Sekali lagi, ini masih opini pribadi. Mungkin kalo udah selesai jatah 6 bulan disini opini tersebut bisa berubah, hehe.


Baiklah, sepertinya sekian dulu. Nanti diupdate postingannya kalau dapet poin baru.

Cheers! Thanks for reading :D

salam hangat dari Clock Tower dan Camphora

Wednesday, May 6, 2015

Hutang (ngok)

Iya, hutang saya banyak...

Hutang postingan blog, hahahah. Sekarang sudah lebih dari sebulan saya di Jepang lagi, tapi postingan summer course di Jepang tahun lalu malah belum tamat. Eyyyyy ><

Satu-satu ya sodara sodari. Menciptakan atmosfer ngeblog dulu. Kalo mau postingan yang paling apdet bisa cek ig kita kakaak. Ngga tau? Ngga follow? Hih, anda bukan teman saya! Ehehehe.

Sekian. Cups muah.

Japan Summer Trip #7 : Studio Work

Senin, 25 Agustus 2014, program summer course berlanjut dengan agenda inti, yaitu studio project. Di awal hari, kami berkumpul di studio di Gedung A, dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu planning and design dan design and build. Grup planning and design (PD) dibagi lagi menjadi 3 grup kecil (6-7 orang) yang menangani proyek revitalisasi Matsudo Park, salah satu taman publik di Matsudo City, sementara grup design and build (DB) dibagi menjadi 4 grup kecil dengan proyek mendesain dan merakit yatai (kalo di Indonesia mah semacam gerobak) untuk dipajang pada saat matsuri di Matsudo Park, di hari terakhir program. Saya masuk grup terakhir di kelompok planning and design. Setelah duduk dengan grup masing-masing, kami diminta membuat menara setinggi dan sekokoh mungkin dari koran bekas dalam jangka waktu yang ditentukan. Semacam ice break gitu lah. Dilanjutkan diskusi mengenai target proyek yang harus tercapai pada akhir masing-masing hari sampai hari terakhir program. Lalu kami jalan ke site project. Site project kami, Matsudo Park adalah sebuah taman publik yang cukup luas di dekat stasiun Matsudo. Akses dari stasiun Matsudo agak sulit karena harus mendaki 5 level anak tangga yang curam. Kurus deh. Ketika kami sampai di taman, tamannya sepi dan ngga ada spot yang benar-benar menarik di dalamnya. Lalu kami mulai berpencar untuk mengumpulkan data.
ini lagi dijelasin tentang Bon Odori Matsuri
Bai Lin san, 'menara eiffel' grup kami dan Dan
site Matsudo Park
main gate ke taman
anak-anak yang main bola di lapangan tanggung

Setelah makan siang, kami kembali ke studio untuk menuangkan kesan pertama kami tentang Matsudo Park, dalam bentuk haiku. Haiku adalah semacam sajak khas Jepang yang terdiri dari 3 baris, dengan aturan baris pertama berisi 5 suku kata, baris kedua 7 suku kata, dan baris ketiga 5 suku kata. Biasanya haiku ini juga berisi gambar atau ilustrasi tentang isi sajaknya. Kami disediakan shikishi (semacam karton tebal berbentuk hampir persegi) dan marker untuk menyelesaikan haiku dalam waktu 1 jam. Sensei memotret masing-masing haiku yang sudah seleasi (bersama si penulisnya), lalu masing-masing orang diminta untuk membacakan haiku-nya.
biarin deh haiku amatir juga

Hari Selasa hingga Jumat, kami bekerja di studio sepanjang hari untuk menyelesaikan project sesuai target setiap hari. Kelompok DB pindah ke hall Gedung E yang lebih luas untuk mulai 'bertukang'. Grup saya terdiri dari saya, Yu dari China, Ida dari Swedia, Dan dari Amerika, Juan dan Bai Lin dan Chibadai. Juan aslinya orang Chile dan Bai Lin dari China. Di grup saya ngga ada native Jepangnya sama sekali, haha. Pada beberapa hari terakhir, kami dibantu satu orang lagi mahasiswa Chibadai yang lebih senior, Sofia (orang Amerika juga). Beberapa hari kerja sama orang asing, kesimpulan saya : communication is everything. Hahaha. Saya ngalamin banget berada di tengah-tengah antara dua kubu (ini subjektif saya loh ya, haha). Western (Ida sama Dan) dan Eastern (Yu sama Bai Lin). Juan sama Sofia netral, non blok. Kubu Western cenderung blak-blakan beropini dan ngga terlalu dengerin omongan orang lain, sementara Eastern teguh pendiriannya walaupun disampaikan dengan cara halus. Untungnya satu grup harus ngerjain 2 spot di masing-masing site, sehingga kami dibagi jadi 2 subgrup lagi. Saya gabung sama kubu Western ngerjain taman yang gede, sementara Juan gabung Eastern di 2 site taman yang lebih kecil. Sofia akhirnya bantuin grup Eastern. Setelah dibagi subgrup, rasanya kelompok kami jadi lebih damai, hahaha. Ternyata saya menikmati diskusi seru sama Dan, si Amrik gemuk yang ketawanya renyah banget itu. Dan adalah mahasiswa Washington State University sekaligus jurnalis asal Seattle yang udah main ke banyak negara untuk ngeliput lanskapnya (terutama urban area) dan pastinya pengetahuannya luas banget. Melalui diskusi beberapa hari sama teman-teman baru saya (terutama Dan), pikiran saya tentang lanskap dan urban public park jadi makin terbuka. Mungkin elemen paling penting dari sebuah public park adalah budaya dan kebutuhan masyarakatnya sendiri. Well, the best part of joining multicultural event is making new friends from different places, backgrounds and mindset, and it really worth your time and effort.
presentasi rutin di akhir hari (bukan kelompok saya)

Baiklah, singkat cerita kami berhasil menyelesaikan 6 lembar poster ukuran A2 dan 2 maket untuk masing-masing grup, jadi untuk tiap tapak ada 3 poster dan 1 maket. Hari Jumat sore, kami mempresentasikan hasil kerja di depan audiens, termasuk beberapa perwakilan pemerintah lokal. Waktu yang disediakan untuk presentasi bener-bener terbatas, kalau penjelasan kami belum selesai ketika jatah waktu habis ya penjelasannya harus dihentikan. Waktu untuk diskusi pun terbatas. Setelah presentasi semua grup selesai, kami ngemil-ngemil sambil pembagian sertifikat. Iya, pembagian sertifikatnya bahkan ngga pake acara seremonial khusus. Nonformal banget.  
tadaaa. hasil kerja 5 hari doang ini, haha
acara penyerahan sertifikat




Besoknya, Sabtu siang, saya kembali ke studio. Kami masih harus menampilkan poster-poster hasil kerja kami di Matsudo Park agar bisa dilihat oleh masyarakat. Momennya sengaja dipilih hari itu karena sorenya ada Bon Odori di tempat yang sama. Sesampainya di studio, ternyata sepi. Jadi saya keliling area dekat-dekat situ untuk mengabadikan spot-spot cantiknya. Belum tentu saya bisa kesitu lagi. Hiks. Puas hunting foto, saya ke hall Gedung E. Di sana juga ngga banyak orang. Saya samperin satu-satu sambil kasih suvenir dari Indonesia yang udah saya siapin sebelumnya. Saat ngobrol sama salah satu sensei, beliau bertanya tentang jilbab saya. Ehehehe mungkin sensei udah lama penasaran tapi kami baru punya waktu untuk ngobrol santai.
bye studio Gedung A...
bye taman Gedung A...
bye koridor...
bye kuma...
Yatai-yatai hasil kerja kelompok DB dibawa ke Matsudo Park dengan mobil pick up, dan kami jalan kaki ke sana. Beberapa orang mampir ke toko yukata untuk ganti kostum. Tadinya saya pengen juga, tapi ternyata yukata lumayan mahal dan bakal makan banyak tempat di koper. Ya sudahlah, Insya Allah kapan-kapan aja nyobainnya. Matsuri mulai sekitar jam 4 sore dengan penampilan beberapa grup lokal, baik berupa band, tari atau semacam orkestra gitu. Sambil menikmati pertunjukan, ada beberapa jajanan yang disajikan. Tapi yang bisa dimakan ngga banyak. Saya jajan jagung bakar sama kakigori, es serut yang dikucuri sirup buah. Lumayan daripada lumanyun. Ami dan Edu juga saya minta untuk datang ke matsuri. Jadi ada yang bisa minta tolong fotoin, ihihi.
siap angkut!
siap untuk matsuri
mejeng depan poster grup 
ini yang namanya kakigori. syegerr
Ami dan Sendy (loh)
chiizu!!
 Puncak acara Bon Odori adalah ketika ibu-ibu (atau nenek-nenek?) menempatkan diri di semacam panggung kecil di tengah arena, mengelilingi bedug (apa sih namanya?) di tengah panggung. Lalu mereka mulai menari mengikuti irama musik, dan orang-orang juga ikut menari membentuk lingkaran besar di sekeliling panggung. Seruu. Semua orang ikut berpartisipasi, terutama saya dan teman-teman program. Kami sampai disorot televisi lokal, hahaha. Fun moment!


Saturday, March 21, 2015

Bapak

Lagi mellow karena mau pergi ninggalin rumah dalam waktu lumayan lama. Saya dari lahir belum pernah ninggalin rumah lebih dari 2 bulan, itu juga gara-gara KKP pas semester 6 dulu. 

Tahun lalu, sebenernya saya sempet lulus seleksi beasiswa ke luar negeri, tapi saya ngga tahu kalau sistemnya adalah summer course 2 minggu, langsung lanjut fall semester 6 bulan tanpa pulang dulu, yang artinya saya harus skip beberapa mata kuliah wajib di semester selanjutnya dan menambah waktu studi setahun lagi. Setelah beberapa hari galau, curhat dan minta saran sana sini, satu kalimat yang bikin saya akhirnya mundur dari program ini keluar dari mulut Bapak. "Selesaikan satu-satu dulu aja," gitu dulu Bapak bilang. 

Dan sekarang, ternyata saya dapat kesempatan lain untuk kuliah di negeri yang sama dengan yang saya tolak, selama 1 semester juga. Saya agak khawatir, jangan-jangan Bapak bakal minta saya lulus dulu baru boleh ambil kuliah di luar. Tapi alhamdulillah kali ini Bapak mendukung. Dengan satu ultimatum. "Ngga boleh bawa pulang cowok sana!" hahaha si Bapak ni :')

Beberapa minggu sebelum keberangkatan, Bapak minta temenin beli hape baru. Padahal selama ini Bapak ngga mau move on dari hape lamanya yang jadul itu. Buat Bapak, hape ya cukup untuk telepon dan SMS, ya bolehlah tambahan fitur kamera sama radio. Sesederhana itu. Makanya waktu tiba-tiba Bapak mau beli hape baru, saya surprise. Ternyata Bapak ingin beli hape yang bisa internet dan video call. "Biar bisa nelpon kamu disana nanti. Biar gampang kirim kabar. Ajarin Bapak pakenya dulu ya.." Huhuhu saya langsung mellow ga terkira. 

Ninggalin rumah 6 bulan, berarti bakal ninggalin Bapak juga sementara. Selama ini saya ngga berani pergi jauh-jauh dalam waktu lama karena takut Bapak kenapa-kenapa. Dulu saya sempat mau disuruh kuliah S1 di Yogya, tapi Bapak kayaknya berat ngelepasnya. Akhirnya saya kuliah di Bogor, masih di satu kota dengan rumah. Kenapa saya ngga berani ninggalin Bapak? Alasannya ada lah. Mungkin beberapa teman terdekat saya aja yang tau. 

Dan ke-mellow-an ini berlanjut dengan nostalgia masa kecil saya. Jaman SD dulu, Bapak selalu ngajak saya ke toko buku setiap habis gajian. Berdua aja. Baca buku sepuasnya, lalu boleh beli beberapa buku. Sampe Bapak pensiun dari militer dan pindah kerja di perusahaan swasta pun, kami masih jadi pengunjung tetap toko buku sebulan sekali. Saat saya SMP dan mulai bisa nabung untuk beli buku sendiri, saya mulai jarang pergi sama Bapak. Kesehatan Bapak juga mulai ngga mendukung. Jalan sedikit capek, padahal saya suka banget jalan muter-muter ngga inget waktu. SMA dan kuliah, waktu saya jauh lebih banyak habis di luar rumah. Ketemu Bapak di rumah pun ngga pernah ada omongan serius, cuma obrolan santai sehari-hari. Semester terakhir saya kuliah, saya bahkan ngga pernah minta uang Bapak untuk kebutuhan sehari-hari, karena saya udah mulai kerja freelance. Masa saya kerja kantoran sampe kuliah S2 sekarang, Bapak masih sering nanya "Kok kamu ngga pernah minta uang ke Bapak lagi?" saya cuma jawab sambil ketawa, sekarang kan udah punya pendapatan sendiri, malu lah kalo minta terus, gantian. Bapak cuma manggut-manggut. Mamah malah cerita kalo Bapak heran karena saya tiap bulan bisa ngasih uang belanja ke Mamah. Mungkin di pikiran Bapak, saya selalu akan jadi anak bungsunya yang masih kecil. 

Seminggu sebelum saya berangkat ini, saya cuma bisa berdoa. Semoga Bapak Mamah tetap sehat sampe kami ketemu lagi, pas saya pulang ke rumah 6 bulan lagi. Aamiin. 

Oh baiklah, mari sudahi mellow ini.

Friday, March 6, 2015

Japan Summer Trip #6 : Indonesia!

Capek ya, si cerita japan summer trip ini ga abis-abis episodenya, heheu. Kenapa saya mau memaksakan diri repot-repot nulis ini? Karena saya butuh pengingat, bukan hanya foto-foto tapi juga narasi. Nanti suatu saat di masa datang saya baca blog ini, saya bisa mengingat-ingat pengalaman saya dan merasa senang lagi :)

Balik ke cerita. Hari Minggu, 24 Agustus 2014, rencana awal saya adalah berburu omiyage murah meriah buat orang-orang kesayangan di tanah air. Tadinya saya mau ngajak Mink sama K jalan ke Daiso, hehe (bener-bener cari yang murmer). Tapi rencana hanyalah rencana. Pagi-pagi saya dikontak Ai, katanya ada acara olahraga bareng anak PPI Chiba di lapangan tenis Inage. Uwooh bakal ada kumpul orang Indonesia, kali aja ada makanan *loh. Saya langsung semangat turun ke lapangan. Di bawah, yang olahraga belum mulai. Edu udah standby bawa kamera. Olahraganya tenis sama tenis meja. Berhubung saya ngga bisa dua-duanya, jadi fotografer dadakan aja deh sambil nonton di tempat adem. Kenalan sama orang-orang PPI Chiba plus ibu-ibu Jepang setengah baya yang super energik dan guru bahasa Inggris dari Thailand yang ramah (saya lupa nanya nama mereka, hahaha).

mbak Thailand, saya, Ai
Selesai olahraga, kami dimintai tolong bantu-bantu masak, karena malamnya akan ada acara perpisahan untuk anak PPI yang mau pulang ke Indonesia. Kami kebagian bantuin potong daging dan nusukin sate. Ih wow, jauh-jauh ke Jepang kita sambilan jadi tukang sate, ngahahah. Tapi seneng banget bisa kumpul sama orang Indo, melemaskan lidah dan manjain otak yang semingguan kerjanya translate English melulu. 4 kilo daging kambing halal yang masih beku dipotong kecil-kecil dan ditusukin. Kata siapa jadi tukang sate gampang?

mungkin harus dicoba sambilan buka yatai sate di Jepang
Selesai nusukin sate yang bikin tangan kebas (dagingnya masih beku), istirahat sebentar sambil makan siang. Makan siang menu seadanya, sarden kalengan dari Indo tapi udah cukup bikin bahagia. Lalu mulailah si sate dibakar oleh para bapak-bapak dan mas-mas (termasuk Edu). Saya sama Ai bantuin ibu-ibu dan mbak-mbak masak menu lainnya dan nyiapin kenang-kenangan. Sorenya, semua makanan udah siap disajikan di meja aula dormi. Huwoo ada soto ayam, sambel, ayam rica-rica, somay, banyak banget makanan Indo memanggil-manggil minta dilahap. Tamu-tamu berdatangan. Bukan cuma orang Indo, banyak juga ibu-ibu Jepang yang datang. Ibu-ibu ini udah akrab banget sama orang Indo, dan sering bantu orang Indo. Semacam ibu asuh kali ya. Banyak juga yang bisa bahasa.



Setelah acara perpisahan, poto-poto, dan solat magrib berjamaah, acara inti yang ditunggu-tunggu pun tiba. Makaaan! Hahaha. Rasanya kangen banget sama rasa Indo, padahal baru seminggu doang di Jepang. Setelah habis ronde pertama, saya ijin sama anak PPI buat ngajak kedua temen sekamar saya makan juga. Dengan baik hati mereka mempersilakan, hihi. Saya langsung 'terbang' ke kamar dan ngajak Mink sama K ke aula. Kesempatan buat memperkenalkan makanan Indo. Tapi ternyata mereka kepedesan, hahaha. Selesai makan, saya ijin lagi kabur dulu ke Daiso, seperti rencana sebelumnya. Karena Daiso tutup jam 8, saya ngga lama disana. Setelah belanja balik lagi ke aula untuk bantuin cuci piring dan beres-beres. Ternyata orang Indo yang mau pulang pada ninggalin beberapa barang, mulai dari elektronik sampe pakaian. Saya dapet beberapa potong baju bagus juga, hihi. Pas mau pamitan saya disuruh bawa magic com buat masak nasi. Waaa alhamdulillah, lumayaan. Walaupun cuma tinggal seminggu lagi di Jepang, tapi magic com ini bermanfaat banget dibanding beli nasi 100 yen yang tinggal diangetin di microwave. Sempet bungkusin buah sama beberapa potong daging ayam halal juga. Rejeki karena udah bantu-bantu ini, alhamdulillah :D



Thursday, January 22, 2015

Japan Summer Trip #5 :Yoyogi Park - Camii Mosque

Setelah 2 hari full ekskursi lapang, kami mendapat 2 hari libur di weekend. Kedua teman sekamar saya mae ke Tokyo Disneysea (bukan Disneyland ya) dan saya ngga ikut karena tiketnya mahal, sekitar 6000 yen. Jadi pagi-pagi saya manjain diri dengan masak, haha. Sarapan saya hari itu cuma nasi (beli di kombini, tinggal diangetin di microwave) sama omelet sayuran. Saya sengaja bawa tepung bakwan instan dari Indo, jadi tinggal nambahin sayuran siap pakai yang beli di supermarket. Terus karena ngga berani beli minyak goreng, saya dadar aja tu adonan bakwan pake margarin (bekel dari Indo juga). Ditambah kecap ekstra pedas (ini juga bawa dari Indo) dan susu coklat, udah cukup untuk memulai hari. Enaknya masak di Jepang adalah semua bahan mentah yang dibeli di supermarket kondisinya fresh dan bersih, siap pakai. Bahkan sayuran, daging atau ikan yang dijual pun udah bersih dan diiris atau dipotong rapi, siap masuk wajan. Praktis dan hemat waktu banget, hehe (ketauan paling males bersihin bahan makanan).

sarapan 'mewah', hahaha
Sambil sarapan, saya chat sama Edu (dulu ade kelas di S1, tapi sekarang di S2 sekelas) yang juga lagi ikut course 3 bulan di Chiba. Edu ngajakin ke masjid yang ada di Yoyogi, masih daerah Tokyo. Tawaran ini langsung saya samber, daripada lumutan di dormi sendirian. Lagian kapan lagi liat masjid di Jepang yang muslimnya tergolong minoritas.

Sambil siap-siap berangkat, saya cek rute kereta ke Yoyogi di hape. Ada beberapa aplikasi yang bermanfaat banget untuk itu, bisa dicari aja. Saya sama Edu kebetulan ditempatin di komplek dormi yang sama, cuma beda gedung aja. Ada lagi Ai yang ikut program yang sama kayak Edu, tapi beda jurusan. Tapi kali ini Ai ngga ikut karena harus ngelab. Saya sama Edu naek kereta sambil ngeraba-raba rute kereta, karena walaupun udah dicatet, rute ke Yoyogi ternyata lumayan panjang dan ribet karena harus ganti line beberapa kali. Sekalian ke Yoyogi, kami menyempatkan maen sebentar ke Yoyogi Park yang hanya berbeda beberapa stasiun.


Pas kami sampai sana, cuacanya mulai gerimis dan dingin. Beda banget sama beberapa hari pertama saya di Jepang yang hawanya kayak oven. Yoyogi Park lumayan luas, hampir mirip-mirip Kebun Raya Bogor gitu gayanya. Penuh pohon besar, adem, ada beberapa kolam besar, dan kita bisa lihat beberapa binatang di situ, seperti gagak, tupai dan temen-temennya. Masuknya gratis karena tergolong public park. Bahkan di beberapa sudut saya menemukan tuna wisma yang membuat tempat tinggal sederhana. Wah ternyata di Jepang ada juga, saya agak takjub.




gagak di Jepang ukurannya jumbo tapi tergolong ngga galak
Pas keliling, kami melihat serombongan remaja, cewek dan cowok, dengan baju bernuansa pink-hitam, yang kayaknya lagi latihan nari buat matsuri atau entah acara apa. Dalam hati saya agak surprised, cowok-cowok di sini kelihatan ngga keberatan pakai baju pink, haha.


semua orang bawa payung karena cuacanya hujan


gerbang Yoyogi park ke arah Shinjuku. gaul


Mendekati waktu dzuhur, kami balik ke stasiun untuk naik kereta lagi ke Yoyogi-uehara, stasiun terdekat dengan Camii Mosque. Turun dari kereta, kami bingung karena ngga tau jalan. Untungnya orang Jepang (lagi-lagi) ngga keberatan menunjukkan arah. Ketika jalan kaki ke arah masjid, kami berpapasan sama mas-mas bermuka Indo yang senyum-senyum ngeliat kami dari jauh. Pasti dia yakin kami lagi nyari masjid, haha. Masjidnya ngga terlalu jauh dari stasiun, dan walaupun ngga ada tulisan gede-gede tapi kami cukup yakin kalo itu adalah masjid yang kami cari karena gaya arsitekturnya yang khas Turki. Masjid ini letaknya di tengah area permukiman gitu, dan jangan bayangin kayak masjid di Indonesia yang halamannya luas. Bangunan Camii Mosque ini terdiri dari 3 lantai, lantai bawah semacam perpustakaan, pusat kebudayaan Turki dan toko souvenir, sementara masjidnya di lantai atasnya. Nah si masjidnya sendiri dipisah lagi menjadi 2 lantai, ikhwan di bawah dan akhwat di atas. Walaupun ukurannya ngga terlalu besar tapi ternyata masjid ini adalah masjid terbesar di Jepang, yang didirikan dengan bantuan dari pemerintah Turki. Makanya di bagian luar masjid ada bendera Turki dan bendera Jepang yang berdiri bersebelahan.








Kami tiba lewat dzuhur, jadi ngga bisa ikut jamaahan. Tapi pas solat sendiri (di lantai atas lagi kosong), saya jadi mellow abis. Bisa solat, di masjid yang cantik, di negara yang muslimnya minoritas, rasanya terharu. Padahal kalo di Indo solat ya solat aja, karena mudahnya nemu tempat solat di mana-mana. Alhamdulillah.

Sambil nunggu ashar, Edu ngobrol sama mas-mas Indo yang baru selesai solat juga. Terus kita dikasih tau ada tempat makan halal di deket masjid, resto India atau Pakistan gitu. Dengan semangat kita langsung bilang makasih, pamit sama masnya dan keluar masjid nyari resto yang dimaksud. Menurut petunjuk si mas, restonya ga jauh dari lampu merah perempatan, beberapa puluh meter dari masjid. Tapi kami udah jalan lebih dari 300 meter dan ngga nemu. Akhirnya kami balik lagi ke arah masjid sambil melototin mata kesana kemari. Ah! Ternyata restonya belok kiri dari lampu merah, haha. 

Resto ini kecil nyempil kaya upil, ngga beda lah sama kedai mie umumnya di Jepang. Pintunya juga pintu geser, haha. Liat tulisan 'HALAL' yang terpampang di depan resto, naga di perut saya mulai gelisah. Beberapa hari ngga makan daging atau ayam, rasanya berat badan saya turun beberapa kilo. Saya lalu pesen nasi kari ayam (900 yen) dan Edu pesen tandoori chicken (750 yen). Wew, makanan halal ternyata mihil. Tapi pas mulai makan, ngga nyesel deh. Porsinya gede dan rasanya enaaak banget. Enaaak karena susah dicari, dan rasa kari yang ngga jauh beda sama kari Indo. Alhamdulillah banget ya Allah. 


Setelah kenyang dan bayar, kami balik ke masjid lagi. Kali ini keburu untuk ikut jamaahan ashar. Uniknya, sementara kami solat, banyak orang Jepang yang memperhatikan di belakang. Setelah solat selesai, mereka ngga segan untuk bertanya ke imam dan petugas masjid yang lain. Kata mas yang ikut jamaahan, mereka rata-rata warga Jepang yang tertarik dengan Islam, baik berniat hijrah atau hanya pengen tau aja. Mudah-mudahan Allah memberi hidayah, aamiin.

*lagi lagi bersambung..