Friday, November 22, 2013

Take Away? Dine In?

Kalo makan di resto fastfood, biasanya kita ditawarin, "Makan disini atau bawa pulang?". Apapun pilihannya, nggak berpengaruh dengan harga yang harus dibayar. Saya baru tahu beberapa minggu yang lalu (dari penjelasan dosen pas kuliah) bahwa ternyata di luar negeri, resto fastfood yang sama akan mengenakan pajak (dine-in tax) jika kita memilih untuk makan di tempat. Kebanyakan orang luar tidak mau membayar lebih hanya untuk makan sambil duduk di dalam resto. Makanya namanya jadi fastfood, makanan cepat saji dan cepat pergi kali ya. Budaya yang berbeda sekali dengan orang Indonesia dimana orang-orangnya malah memilih meet up di resto fastfood supaya bisa ngobrol lama-lama, haha.

Tapi posting ini intinya bukan tentang fastood. Saya mau cerita tentang ujian. Loh, ujian take away sama dine in? Eh, ngga ding, ini nyama-nyamain istilah aja. Take away itu sama dengan ujian yang dibawa pulang ke rumah alias take home exam, sementara dine in adalah ujian konvensional sekian jam di ruangan. Mungkin banyak yang mengira ujian take home lebih enak ya. Ngga usah capek belajar dan ngapalin slide, bisa ujian sambil ngemil, nyanyi-nyanyi, joget-joget, jungkir balik (dalam kasus saya, uget-uget pundak sambil ngetik), bahkan sambil diskusi jawaban sama temen. Bebas mau ngapain aja, yang penting email sent sebelum deadline yang ditentukan *bukan disepakati. Kenyataannya adalah, ujian take home nggak enak. Sama sekali. Soal untuk ujian take home bisa berkali-kali lipat lebih susah dan mengganggu pikiran daripada ujian konvensional, dengan soalnya 100% berupa pemahaman dan aplikasi teori dalam kehidupan nyata. Walaupun dikerjain di rumah dan waktunya lebih longgar, tetap aja menit-menit kosong di sela ngetik jawaban itu (misalnya pas makan, mandi atau berusaha merem barang lima menit) adalah waktu-waktu yang menyiksa. Kepikiran soal melulu. Kalo berhasil tidur, mimpinya juga menyangkut soal. Kalo dosen yang ngajar dalam satu mata kuliah ada dua, ujiannya ya dua paket soal. Deuh. Belum lagi kalo lagi mati lampu atau koneksi internet lagi bapuk. Atau pas jurnal elektronik ngga bisa diakses. Atau pengalaman saya, tiba-tiba diminta nemenin anter ponakan ke dokter pas besoknya deadline. Terlalu banyak distraksi saat ngerjain ujian ini.

Beda dengan ujian dine-in alias on the spot alias dalam ruangan. Penyiksaan hanya 2-3 jam dengan soal yang lebih sederhana, walaupun lumayan banyak hapalannya *yang tetap harus dipelajari sebelumnya. Tapi dalam hitungan jam itu, semua peserta ujian mendapat waktu dan kondisi yang sama untuk ngerjain soal. Semua tergantung pada kemampuan otak dan emosi untuk menahan pressure ujian. Setelah keluar ruangan, terangkat sudah bebannya. Simpel. Makanya sekarang saya mikir, kalo besok-besok dosennya nawarin jenis ujian, saya mau pilih dine-in aja. Heuh. Kapan bisa makan fastfood lagi ya? *lah

1 comment: